Tangerang, aptisiorid.wpengine.com – Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Budi Djatmiko mengatakan bahwa hanya sebanyak 30 persen Perguruan Tinggi Swasta mampu memperlakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau secara darin (Online).
Hal ini dikatakan sebagai respon berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim agar perguruan tinggi tetap dapat melakukan Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ tahun ajaran 2020/2021 selama pandemi Covid-19.
Melalui CNN Indonesia dalam wawancaranya dengan sambungan telepon pada hari Jumat (19/06/2020), Budi Djatmiko mengatakan “Kemarin saya sudah panggil pimpinan wilayah untuk mendengar (kesaksian) rektor (soal PJJ) seperti apa. Kira-kira keberhasilannya 30 persen yang sudah dilakukan tiga bulan ke belakang.”
Beliau juga mengatakan bahwa terdapat beberapa kendala yang terjadi pada beberapa PTS yang tidak dapat melaksanakan PJJ, terutama dikarenakan keterbatasan fasilitas. Ini juga termasuk keterbatasan pada mahasiswa, dosen, dan kampus. Ia menyatakan tidak semua mahasiswa dan dosen punya fasilitas teknologi yang memadai untuk PJJ.
Dari total 4.500 jumlah Perguruan Tinggi Swasta yang tercatat pada APTISI, hanya sebanyak 5 persen saja yang dapat melaksanakan pembelajaran daring secara optimal yang didukung dengan fasilitas yang memadai.
Hal ini dimaklumi olehnya karena Kemendikbud baru memulai pembelajaran secara online pada Perguruan Tinggi sejak Tahun 2015 lalu. Hingga kini, ia mengatakan bahwa hanya sebanyak 7 Kampus yang melasanakan pembelajaran daring sebelum Pandemi ini. Selain kendala pada kampus dan mahasiswa, menurutnya pemerintah juga gagal memenuhi fasilitas pembelajaran daring untuk kampus dan sekolah.
Untuk itu ia menilai seharusnya Kemendikbud memenuhi kebutuhan dan memberikan bantuan dana jika menetapkan PJJ atau pembelajaran online, agar tahun ajaran baru tetap berlangsung .
Secara terpisah, Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Jamal Wiwoho menilai Kemendikbud seharusnya membantu panduan teknis soal penerapan PJJ untuk perguruan tinggi.
Melalui CNN Indonesia dalam wawancaranya dengan sambungan telepon, ia mengatakan “Pengaruh pertama itu substansi legalnya. (harus ada) substansi pengaturan soal bagaimana PJJ dilakukan. Misalnya sistem yang digunakan.”
Meskipun sebagian besar PTN sudah bisa melakukan pembelajaran daring, ia mengingatkan tidak semua kampus bisa beradaptasi dengan baik dan cepat.
Kendala yang umum didapati, katanya, misalnya perkara biaya. Ia mengingatkan ketika pembelajaran dilakukan daring, banyak biaya yang perlu dikerahkan kampus. Ini mulai dari membeli server, memenuhi fasilitas sampai membantu biaya kuota civitas kampus. Sedangkan di sisi lain, mahasiswa juga meminta keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara serentak.
Jamal memastikan pihaknya sudah menerapkan kebijakan pengajuan keringanan UKT bagi mahasiswa yang membutuhkan. Namun jika hal tersebut dilakukan tanpa seleksi, ia khawatir akan berpengaruh pada pembiayaan PJJ selama pandemi.
“Sedangkan biaya diluar menyesuaikan Covid-19 tadi sangat besar. Misalnya untuk menyediakan server baru harus menyiapkan dana sebesar Rp 4,8 miliar. Kami juga sudah berikan mahasiswa untuk pulsa Rp 2,6 miliar,” ujarnya mencontohkan perhitungan yang dilakukan kampus yang ia pimpin, Universitas Negeri Sebelas Maret. Ia mengingatkan bantuan pulsa dan kuota tidak bisa dilakukan oleh semua PTN.
Diketahui Kemendikbud meminta kampus menganggarkan biaya untuk membantu biaya kuota internet kepada mahasiswa. Namun Jamal melihat hal ini bisa menjadi kendala untuk Perguruan Tinggi yang belum memegang entitas badan hukum. Ini karena akuntabilitas dan posisi hukumnya bisa dipertanyakan bagi PTN berstatus badan layanan umum dan satuan kerja.
Sebelumnya Mendikbud Nadiem belum mengizinkan perguruan tinggi melakukan pembelajaran tatap muka pada tahun ajaran 2020/2021. Ia juga memutuskan Tahun Ajaran Baru untuk Perguruan Tinggi tetap dimulai Agustus 2020.
“Alasannya Universitas punya potensi adopsi PJJ lebih mudah daripada pendidikan menengah dan dasar. Jadi untuk saat ini karena keselamatan nomor satu, semua Perguruan Tinggi masih online,” ujarnya pada Senin (15/6) lalu.
Ini berbeda dengan keputusannya mengizinkan sekolah dibuka kembali dengan sejumlah syarat. Plt. Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Muhammad Hamid menyatakan izin ini diberikan karena banyak sekolah yang tak mampu melakukan PJJ.
Leave a Reply